Kadang ada teman yang bertanya tentang bagaimana caraku belajar bahasa asing. Sering kali kujawab spontan tapi selang beberapa jam berlalu ada saja hal yang teringat seharusnya kukatakan tapi lupa kukatakan pada saat menjawabnya. Artikel kali ini membahas tentang jawabanku untuk teman yang bertanya "gimana sih kamu belajar bahasa itu?" (meskipun mungkin niatnya cuma untuk small talk). Hal ini aku lihat berlaku untuk hampir semua bahasa yang kupelajari (saat ini ada sekitar tiga bahasa asing yang sedang kuseriusi: Inggris, Jepang, Arab). Simak penjelasan berikut yak!
Dekati realita (jauhi abstraksi)
Pada saat belajar bahasa asing untuk pertama kalinya, banyak orang yang menggunakan translasi untuk mempelajari hal tersebut, misalnya "'cat' artinya 'kucing'". Tidak sepenuhnya salah, tetapi yang dikhawatirkan pada saat seseorang menggunakan teknik ini adalah mereka akan terpaku ke abstraksi bahasa perantaranya.
Pertama-tama, kita harus mengerti untuk apa bahasa dibuat. Sejatinya, bahasa digunakan sebagai standar kita dalam merujuk kepada suatu realita. Kalau kita bilang "kucing" maka kita merujuk kepada makhluk hidup yang ada di alam yang memiliki telinga lancip, mamalia, berekor, kecil, berbulu, dan sebagainya. Pasti kalian tidak paham apabila hanya fokus kepada penjelasanku di kalimat sebelumnya, "makhluk hidup yang ada di alam memiliki telinga lancip, mamalia, berekor, kecil, berbulu", penjelasan tersebut bisa berjalan sampai hari kiamat, bagaikan konstanta π yang tidak ada batasnya. Namun, kita mengerti secara langsung apa itu 'kucing' bukan? Karena kita pernah melihat kucing, menyentuh kucing, dengan panca indera kita. Dalam kata lain, kita tahu apa realita yang ditunjuk oleh kata "kucing" itu.
Kita seringkali lupa mengenai fakta bahwa pada saat kita belajar bahasa ibu pertama kali, kita belum tahu bahasa apapun selain bahasa ibu. Itu artinya, kita tidak bisa memasangkan kata "kucing" dengan bahasa perantara karena kita tidak tahu bahasa lain selain bahasa ibu (Indonesia). Lalu apa yang kita lakukan? Kita memasangkan kata-kata tersebut langsung ke realitanya, "kucing" kita langsung pasangkan dengan realita kucingnya.
Sayangnya, dalam sistem pendidikan kita, kita seringkali salah kaprah saat memasangkan kata asing dengan realita. Justru kita malah memasangkan kata asing tersebut dengan abstraksi lain (bahasa yang sudah kita mengerti sebelumnya, bahasa perantara). Secara teori hal ini bisa dilakukan, tapi secara praktik akan sangat lambat. Bayangkan, dalam mendengar percakapan bahasa asing, kita menerjemahkan bahasa asing tersebut ke abstraksi lain (bahasa Indonesia), lalu baru mengerti apa realita yang dimaksud. Lalu apabila kita ingin mengucapkan sesuatu, kita terjemahkan realita ke dalam bahasa Indonesia, lalu baru bahasa Indonesia tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Cara ini bukan hanya lambat, makna kata yang disampaikan juga seringkali berubah dari realita awal yang ingin disampaikan, atau dalam kata lain lost in translation.
Kata yang memiliki makna yang "sama" di dalam dua bahasa seringkali berbeda karena mereka memiliki nuansanya atau konteks penggunaannya masing-masing. Misal kata "dengar" dalam bahasa Indonesia, apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris bisa menjadi "hear" dan "listen". "Hear" berarti mendengarkan secara pasif, misal "he did not hear very well", dia tidak mendengar dengan baik, mungkin karena ada kelainan di dalam telinganya. "Listen" berarti mendengarkan secara aktif atau menyimak, misal "I'm listening to you", aku mendengarkanmu (menyimak). Sekarang, coba terapkan dengan cara sebelumnya untuk menerjemahkan kalimat "hearing but not listening", mungkin akan ada makna yang hilang pada saat hal tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Ada satu contoh lagi. Coba masukkan kata bahasa Jepang 履く、かぶる、着る ke Google Translate lalu terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Google Translate akan menerjemahkannya ke "pakai, pakai, pakai". Memang kata-kata tersebut artinya adalah "pakai", tetapi konteks penggunaannya berbeda. 履く(haku) digunakan ketika memakai bawahan, かぶる(kaburu) digunakan ketika memakai topi, 着る (kiru) digunakan ketika memakai baju atasan. Inilah kenapa, sebelum ChatGPT, orang kalau mau melakukan parafrase, mereka pakainya Google Translate. Hanya dengan menerjemahkan paragraf dari satu bahasa ke bahasa lain, misal dari bahasa Indonesia ke Spanyol, Inggris, Jerman, Jepang, lalu balik ke bahasa Indonesia lagi, kata dalam paragraf tersebut sudah berubah. Hal ini karena tiap-tiap kata dalam dua bahasa, meskipun ada yang artinya "sama" (mungkin lebih mendekati mirip 98%), kata tersebut tetaplah kata yang berbeda karena memiliki nuansanya masing-masing. Mereka mungkin merujuk kepada realita yang "sama", tetapi tetaplah berbeda karena pengalaman realita manusia masing-masing sejatinya adalah berbeda. Misal kata "طاولة" (Taawilah) yang artinya meja, sudah pasti orang zaman dahulu mereka merujuk kata ini bukan kepada meja modern yang kita miliki sekarang, bisa jadi realita meja yang mereka maksud pada saat itu adalah bidang datar tinggi yang bisa digunakan untuk meletakkan sesuatu dan terbuat dari batu.
Gambar 1 Menerjemahkan Kata Menggunakan Abstraksi Bahasa Lain |
Gambar 1 menunjukkan alur penerjemahan kata menggunakan abstraksi bahasa perantara. Menurutku, cara ini dapat dilakukan, tetapi kita harus selalu sadar bahwa ini hanyalah untuk membantu kita semata saat pertama kali belajar bahasa asing tersebut. Kita harus tahu bahwa belajar bahasa asing berarti kita belajar untuk memasangkan kata asing tersebut dengan realita bukan kepada abstraksi bahasa perantara.
Gambar 2 Menerjemahkan Kata Langsung ke Realitanya |
Gambar 2 menunjukkan bagaimana kata asing dalam bahasa apapun menunjuk kepada realita yang "sama". Cara ini lebih efektif dibandingkan menggunakan alur yang ada di Gambar 1. Lalu yang tak kalah sering jadi pertanyaan adalah bagaimana cara untuk menghubungkan kata asing ke realita. Sebenarnya, kalian sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini karena kalian sudah pernah melakukannya untuk menghubungkan abstraksi bahasa Indonesia dengan realita. Kalian bisa mengamati bagaimana anak kecil belajar bahasa pertamanya. Misalnya saat belajar kata "mama", anak kecil tersebut belajar dengan cara melihat seseorang lalu ada fasilitator (misalnya ibunya atau ayahnya) yang mengucapkan kata "mama", apabila diulang terus-menerus pada akhirnya ia akan mengasosiasikan kata "mama" dengan seseorang tersebut. Sama halnya dengan kata "makan", saat pertama kali disebutkan kata "makan" ia tidak tahu apa arti dari kata tersebut, tetapi karena setiap kali seseorang mengucapkan kata "makan" langsung ada suapan yang masuk ke mulutnya dan membuatnya kenyang, ia mengasosiasikan hal tersebut dengan kata "makan". Saat ia mau makan, ia hanya perlu mengulang kata tersebut. Sesuatu yang indah bukan?
Hal tersebut dapat diterapkan kepada kita di masa dewasa ini. Kita akan lebih cepat untuk mempelajari bahasa asing daripada mempelajari bahasa pertama kita karena kita sudah memiliki pengalaman dengan realita yang lebih banyak dibandingkan ketika kita masih kecil. Misal, kita tidak perlu lagi untuk ke laut untuk belajar kata "sea", kita bisa saja langsung membayangkan laut tersebut di pikiran kita sejelas mungkin, anginnya, airnya, asin di airnya, kelembabannya, dan semua yang bisa kita tangkap di dalam panca indera kita dan mengasosiasikannya dengan kata "sea" dengan mengulang kata tersebut berulang kali dan membayangkannya. Kalau kita ada kesempatan ke laut atau melihat objek tersebut secara langsung, kita bisa langsung saja memunculkan kata asing tersebut sekaligus belajar, misal kita sedang melihat botol, kita sebut "bottle" dalam pikiran kita. Misalkan ada objek yang kita belum pernah temui secara langsung, misal alat musik dari zaman purba, kita bisa langsung cari gambar dari alat musik tersebut di internet. Tentu akan berbeda antara hanya tahu nama alat musik tersebut, dengan tahu bentuknya, apalagi tahu bagaimana suaranya. Semakin detail gambaran dan semakin banyak dimensi yang bisa kita ambil semakin baik.
Dalam neurosains, ada frasa "neurons that fire together wire together", kasarannya, neuron-neuron yang menembak sinyal secara bersamaan terikat bersama. Hal ini bisa menjelaskan mengapa pembelajaran dengan asosiasi seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya dapat terjadi.
Kesimpulannya adalah saat belajar bahasa asing, usahakan bahasa perantara yang digunakan untuk belajar bahasa asing tersebut hanya sebagai pembantu karena sejatinya bahasa digunakan untuk menunjuk kepada realita atau ide bukan kepada bahasa perantara tersebut atau abstraksi lainnya. Semoga teman-teman bisa langsung mengambil manfaat yang ditulis di dalam artikel ini sekaligus mempraktikkannya 😊.
وَٱللَّٰهُ أَعْلَمُ
And God knows best.
Sebenarnya, niatku dalam menulis artikel ini adalah untuk mengenalkan beberapa tips untuk belajar bahasa asing, tetapi karena satu tips saja sudah jadi panjang aku berpikir mungkin akan lebih baik kalau artikel ini didedikasikan untuk satu tips ini dulu saja. Tips lainnya seperti repetisi, baca buku dalam bahasa asing, latihan-latihan-latihan!, dan lingkungan, inshaaAllah akan kubahas di artikel selanjutnya.
Sebenarnya juga, sudah lama ingin menulis artikel tentang hal ini. Akhir-akhir ini karena membaca hal yang serupa dari novel Negeri Lima Menara (lihat Gambar 3), aku jadi terinspirasi untuk menulis hal ini karena teknik ini merupakan teknik yang aku rasa paling ampuh dalam belajar bahasa. Bahkan konsep apapun, kalau abstraksinya terlalu tinggi, kita tidak akan mengerti. Einstein sendiri selalu membuat thought experiment di otaknya dengan membayangkan realita-realita yang membuatnya dapat menyusun teori relativitas umum.
Gambar 3 Cuplikan Novel Negeri Lima Menara |
Komentar
Posting Komentar